Serunting.id, Jambi – Pulau Rempang mendadak menjadi perhatian publik baru-baru ini, karena rencana relokasi atau penggusuran penduduk setempat oleh BP Batam atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN) Eco City ditolak masyarakat setempat yang mengaku telah tinggal menetap di sana lebih dari seabad lamanya.
Untuk diketahui, Rempang merupakan pulau yang terletak di wilayah pemerintahan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau dan menjadi pulau terbesar kedua yang dihubungkan enam Jembatan Barelang. Pulau Rempang berada sekitar 3 kilometer di sebelah tenggara Pulau Batam dan terhubung langsung dengan Jembatan Barelang V di mana Pulau Galang berada di bagian selatannya.
Barelang adalah singkatan dari Batam, Rempang, dan Galang, yang menjadi jembatan penyambung antar wilayah di Rempang. Jembatan Balerang dibangun untuk memperluas Otorita Batam sebagai regulator daerah industri Pulau Batam.
Pulau ini memiliki luas wilayah 16.583 hektare yang terdiri dari dua kelurahan Rempang Cate dan Sembulang. Menurut Badan Pusat Statistik, total warga yang menempati Pulau Rempang saat ini ditaksir mencapai 7.512 jiwa
Namun atas nama investasi dan proyek strategis nasional, BP Batam dan aparat keamanan bersikap arogansi terhadap masyarakat Melayu yang ratusan tahun menetap disana. Mereka dipaksa untuk meninggalkan kampung halamannya demi terealisasinya proyek strategis nasional yang menjadi prioritas utama pemerintah pusat.
Timbul pertanyaan bagi kita, apakah Proyek Eco City Rempang benar-benar masalah strategis nasional (kepentingan publik yang mendesak), yang harus dieksekusi secepat-cepatnya, setara dengan masalah ketahanan pangan (food security), masalah pertahanan negara (national defense), masalah ketahanan energi (energy security), masalah transportasi fundamental, masalah penjagaan “critical mineral” nasional, dan sejenisnya? Jika tidak cepat, akan berisiko membahayakan negara?
Rasanya tidak sestrategis itu, alias tidak mengandung bahaya apa-apa bagi Indonesia, jika dilaksanakan secara pelan-pelan dan hati-hati alias tidak grasah-grusuh. Karena itu, saya kira, proyek Eco City Rempang tidaklah perlu dilakukan secara grasah-grusuh. Apalagi, sikap “kasar” dan “cepat” pemerintah tersebut sangat ironi dengan masalah strategis yang sebenarnya. Bayangkan saja, masalah “food estates” yang terkait langsung dengan “food security” justru disia-siakan. Namun saat proyek Eco City Rempang mencuat, pemerintah melalui BP Batam langsung main “gebuk” seperti “debt collector” menagih utang.
Menyikapi persoalan Rempang, Ketua Hulubalang Suku Melayu Provinsi Jambi Almahpus Zikri mengecam tindakan semena mena yang dilakukan pemerintah dan aparat penegak hukum yang membabi buta memerangi masyarakat Melayu yang telah menetap ratusan tahun di Rempang.
Tentunya, apapun teori pemerintah soal kisruh di Rempang tersebut, kepentingan semua pihak haruslah terlebih dahulu didengarkan dan diwakili, sekecil apapun jumlahnya. Pasalnya, relokasi dan penggusuran bukan hanya soal akuisisi lahan, tapi juga soal hidup, penghidupan, harga diri, dan identitas bagi mereka yang telah tinggal di sana secara turun temurun.
Penolakan publik di Rempang boleh jadi karena gagalnya komunikasi pemerintah dalam menghadirkan persepsi positif atas PSN yang akan dihadirkan kepada masyarakat. Dengan kata lain, jika penolakan terjadi secara masif di saat eksekusi dilakukan, sebagaimana yang telah terjadi, maka hal itu mengindikasikan adanya persoalan yang belum disepakati. Artinya apa? Artinya komunikasi belum berjalan sebagaimana mestinya.
Masih banyak pihak yang belum terwakili dan belum didengarkan. Dan lainnya, masih banyak tugas dan pekerjaan rumah bagi BP Batam, sebelum masuk kepada fase eksekusi relokasi dan sejenisnya.
Almahpus Zikri menyebut penggusuran di Pulau Rempang menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjalankan mandat konstitusi Indonesia. Dalam UUD 1945 disebutkan, tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
” Sebagai putra asli suku Melayu Provinsi Jambi, ikut sedih dan kecewa dengan pemerintah pusat. Khususnya Menteri BKPM dan Presiden RI dengan kejadian di pulau Rempang , Batam Kepulan Riau banyak terdapat masyarakat Melayu yang menjadi korban kekerasan anggota anggota dalam mengamankan aksi demo di lapangan dan kami sebagai putra masyarakat melayu khususnya Provinsi Jambi meminta segera mungkin untuk mencari jalan yang terbaik untuk kedua belah pihak, baik masyarakat pulau Rempang dan investor biar segera mendapatkan selusi yang terbaik. Dari kedua belah pihak, kami juga udah kemunikasi langsung dengan teman teman suku Melayu pulau Rempang untuk menahan diri dan kami minta aparat TNI dan polri di lapangan juga menahan diri. Karna menurut Almahpus Zikri, yang kita hadapi itu masyarakat kita sendiri, dan, kami juga udah kemunikasi dengan laskar Melayu Provinsi Jambi untuk mencari jalan yang terbaik dalam masalah ini,” terang Almahpus Zikri
Lanjut Almahpus Zikri , Selaku Ketua Hulubalang Suku Melayu Jambi dirinya mengharapkan kepada pemerintah daerah khususnya Lancang Kuning Provinsi Jambi untuk segera ikut andil dalam menghadapi masalah saudara saudara kita suku Melayu di pulau Rempang Batam Kepulauan Riau.(*)
Discussion about this post