Serunting.id, Jakarta – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) membeberkan alasan pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, mengungkapkan peraturan tersebut sebagai respons untuk menghadapi dinamika global.
“Poin yang perlu segera ada yang diterbitkan isinya apa kalau kita lihat dari janjinya ada dua hal besar,” ujar Putri saat konferensi pers terkait Perppu Cipta Kerja, Jumat (6/1/2023).
Menurutnya, ada dua hal besar yang mendesak Perppu Cipta Kerja harus segera diterbitkan, khususnya dari sisi ketenagakerjaan. Pertama, Indonesia masih membutuhkan penciptaan kerja yang berkualitas.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran di bulan Agustus 2022 atau meningkat menjadi 8,42 juta orang dari periode Februari 2022 8,40 juta orang. Sementara bila dibandingkan secara tahunan atau year on year (yoy), angka pengangguran mengalami penurunan dari periode Agustus 2021 yang sebanyak 9,10 juta orang.
Selain itu, pandemi COVID-19 memberikan dampak kepada 11,53 juta orang (5,53 persen) penduduk usia kerja, yaitu pengangguran sebanyak 0,96 juta orang, Bukan Angkatan Kerja sebanyak 0,55 juta orang, tidak bekerja sebanyak 0,58 juta orang, dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja sebanyak 9,44 juta orang.
Untuk itu, dibutuhkan kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja.
“Kita bisa mencermati dari angka-angka statistik yang diterbitkan BPS, di mana terjadi dinamika angka-angka ketenagakerjaan kita,” kata Indah.
Selanjutnya, urgensi kedua, Indonesia tetap membutuhkan penguatan fundamental ekonomi nasional untuk menjaga daya saing. Pasalnya, saat ini terjadi pelemahan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan laju harga (fenomena stagflasi).
Kondisi perekonomian dunia diproyeksikan akan memburuk di tahun 2023. Selain itu, sambung Putri, masih terdapat permasalahan supply chains atau mata rantai pasokan yang berdampak pada keterbatasan suplai terutama pada barang-barang pokok serta kenaikan inflasi di beberapa negara maju.
“Tingkat ketidakpastian yang tinggi pada dunia, terutama didorong oleh kondisi geopolitik. Hal ini akan mendorong risiko pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih lemah dan inflasi yang lebih tinggi,” tutur Indah.
Sumber: kumparanBISNIS
Discussion about this post